Validation Through Legitimacy Theory
Validation Through Legitimacy Theory menjelaskan bahwa praktik membagikan simbol-simbol pelayanan religius di ruang digital—seperti poster undangan khotbah—berfungsi sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan psikologis dan legitimasi sosial, bukan semata sebagai aktivitas promosi. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa pelayan Tuhan, sebagai manusia, tunduk pada dinamika kebutuhan dasar yang bersifat universal. Mengacu pada Self-Determination Theory (SDT) yang dikembangkan oleh Edward L. Deci dan Richard M. Ryan, manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis fundamental, yakni competence, relatedness, dan autonomy. Dalam konteks pelayanan gerejawi, undangan khotbah dan poster pelayanan berfungsi sebagai simbol yang mengafirmasi competence (“aku mampu dan dipercaya”), sekaligus recognition yang menopang kebutuhan relatedness (“aku diakui dalam komunitas”). Ketika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi secara memadai melalui ruang institusional atau relasi langsung—misalnya karena budaya pelayanan yang minim apresiasi atau struktur hierarkis—individu cenderung mencari pemenuhannya melalui ruang digital yang paling dekat dan aman secara relasional.
Secara sosiologis, teori ini berakar pada kajian sociology of religion yang menempatkan simbol-simbol religius sebagai penanda status dan legitimasi. Dalam kerangka Max Weber, otoritas religius selalu dilekatkan pada tanda-tanda sosial yang diakui komunitas. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa simbol memiliki symbolic power untuk mengukuhkan posisi dan identitas dalam suatu medan sosial. Dalam konteks gereja, mimbar, undangan khotbah, dan poster pelayanan berfungsi sebagai status symbols rohani. Ketika simbol-simbol ini dipindahkan ke ruang digital, tindakan mempostingnya dapat dipahami sebagai bentuk digital ritualization—sebuah ritual simbolik modern yang mengukuhkan identitas dan status pelayanan di hadapan komunitas relasional.
Dengan demikian, Validation Through Legitimacy Theory menegaskan bahwa praktik tersebut bukanlah ekspresi narsisme atau penyimpangan etis, melainkan fenomena psikososial dan sosiologis yang wajar. Ia merefleksikan upaya manusia religius untuk mencari legitimasi, makna diri, dan pengakuan dalam persilangan antara struktur gereja tradisional dan ekosistem komunikasi digital kontemporer.
Footnotes / Referensi
- Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior (New York: Plenum Press, 1985).
- Richard M. Ryan and Edward L. Deci, “Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic Definitions and New Directions,” American Psychologist 55, no. 1 (2000): 54–67.
- Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1993 [1922]).
- Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991).
- Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995 [1912]).

