Penjangkauan Suku Digital? Apa/Siapa yang DIJANGKAU?!

hands, ipad, tablet, technology, digital tablet, touch, computer, screen, communication, wireless, internet, device, digital, electronic, pc, portable, multimedia, touchscreen, modern, laptop, display, mobile, media, input, ipad, tablet, technology, technology, technology, technology, technology, computer, computer, computer, internet, internet, internet, internet, digital, digital, digital, laptop, media

Perkembangan teknologi digital telah membentuk ekosistem sosial baru yang memengaruhi cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan membangun identitas.  Dunia digital bukan sekadar ruang tambahan bagi kehidupan manusia, tetapi telah menjadi bagian integral dari eksistensi manusia modern.  Dalam konteks teologi misi, perubahan ini menuntut gereja untuk memahami kembali panggilan pengutusan (missio Dei) di tengah realitas digital yang terus berkembang.  Salah satu istilah yang mengemuka dalam wacana pelayanan digital ialah “suku digital” sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan komunitas manusia yang hidup, berinteraksi, dan membentuk budaya di ruang digital.

Namun, pemakaian istilah “suku digital” sering kali dilakukan secara serampangan tanpa pemahaman konseptual yang mendalam.  Banyak hamba Tuhan dan pelayan gereja memahami istilah ini dengan analogi “suku terasing” atau “suku belum terjangkau” seperti dalam paradigma misi tradisional. Akibatnya, muncul pendekatan-pendekatan penjangkauan digital yang berangkat dari asumsi bahwa komunitas digital adalah kelompok yang “terisolasi dari Injil” atau “terkungkung dalam dunia maya.”  Padahal, realitasnya tidak selalu demikian. Dunia digital justru merupakan ruang terbuka, tempat berbagai ekspresi iman, spiritualitas, dan diskursus teologis berlangsung secara dinamis dan transnasional.

Pertanyaan kritis pun perlu diajukan: apa yang sebenarnya dimaksud dengan “suku digital”? Apakah ia benar-benar memiliki karakteristik suku dalam pengertian antropologis dengan sistem nilai, bahasa, dan budaya tersendiri? ataukah istilah ini sekadar metafora yang mencerminkan cara hidup generasi digital (digital natives) yang berbeda dari generasi sebelumnya (digital immigrants)?  Pemahaman yang dangkal terhadap terminologi ini dapat menimbulkan bias misiologis, di mana gereja tampil sebagai subjek superior yang “menjangkau” kelompok yang dianggap pasif, tertinggal, dan membutuhkan “pencerahan digital.”

Tulisan ini berangkat dari kegelisahan terhadap fenomena tersebut.  Gereja yang ingin melayani di ruang digital perlu terlebih dahulu memahami konteks budaya digital itu sendiri struktur relasi, bahasa komunikasi, nilai-nilai komunitas, dan ekspresi iman yang lahir di dalamnya.  Dengan demikian, pelayanan digital tidak lagi berangkat dari paradigma kolonialistik “penjangkauan,” melainkan dari paradigma inkarnasi hadir, berelasi, dan menjadi bagian dari komunitas digital sebagai saksi Kristus yang hidup.

Secara teologis, pendekatan ini menuntut pembacaan ulang terhadap konsep misi dan komunitas dalam terang era digital.  Dunia digital bukanlah “ladang misi baru” yang terpisah dari dunia fisik, melainkan perpanjangan dari kehidupan manusia yang sama, yang kini mengekspresikan imannya melalui medium digital.  Oleh karena itu, memahami definisi dan realitas “suku digital” menjadi langkah awal yang esensial bagi gereja agar dapat mengembangkan strategi misi digital yang relevan, kontekstual, dan berpusat pada Kristus.

Roi Eliazar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *