Membaca Fenomena Media Sosial dalam Pelayanan
Di era media sosial, batas antara informasi dan afirmasi semakin tipis. Sebuah poster ibadah, misalnya, secara fungsional ditujukan bagi jemaat tertentu—sebagai undangan untuk hadir dan beribadah. Namun ketika poster itu dibagikan ke ruang personal seperti WhatsApp Story, kepada relasi yang tidak termasuk dalam target jemaat, maknanya mulai bergeser. Yang berubah bukan desainnya, melainkan fungsi komunikasinya.
Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini dapat dibaca sebagai validation seeking behavior—dorongan manusiawi untuk mencari pengakuan dan peneguhan dari lingkungan sekitar. Media sosial menyediakan mekanisme cepat untuk itu melalui atensi, respons, dan simbol-simbol legitimasi. Dalam konteks pelayanan, poster undangan khotbah dapat berfungsi sebagai status symbol: tanda bahwa seseorang dipercaya, diberi ruang, dan dianggap layak melayani.
Ilmu komunikasi menyoroti adanya audience mismatch. Poster ibadah ditujukan untuk jemaat A, tetapi dibagikan ke jaringan relasional personal. Ini menunjukkan bahwa tujuan komunikasi tidak lagi bersifat informasional, melainkan simbolik. WhatsApp Story, sebagai ruang yang intim dan relasional, jarang digunakan untuk menjangkau massa. Ia lebih sering dipakai untuk identity signaling—menyampaikan pesan implisit tentang siapa kita dan apa peran kita.
Dari sisi teologi, persoalannya bukan pada tindakan membagikan itu sendiri. Alkitab tidak melarang visibilitas. Namun Yesus berulang kali menegaskan pentingnya motivasi hati. Dalam Matius 6, Ia mengingatkan bahwa kebenaran yang dilakukan demi dilihat orang lain telah menerima upahnya. Peringatan ini bukan anti-publik, melainkan pro-keutuhan identitas. Pelayanan yang berakar pada keintiman dengan Allah tidak membutuhkan sorotan untuk merasa sah.
Bahaya muncul ketika panggilan pelan-pelan bergeser menjadi performa, dan ketaatan menjadi sarana afirmasi diri. Di titik ini, nilai diri tidak lagi bertumpu pada penerimaan Allah, tetapi pada legitimasi sosial. Media sosial lalu berfungsi sebagai altar kecil tempat kita meletakkan harapan akan validasi—bukan karena kita jahat, tetapi karena kita manusia.
Artikel ini tidak bertujuan menghakimi, melainkan mengajak berefleksi. Pertanyaan pentingnya bukan “bolehkah membagikan?”, melainkan “mengapa aku membagikan?”. Ketika identitas seorang pelayan aman di dalam Kristus, media sosial kembali ke tempatnya yang semestinya: alat, bukan sumber nilai; sarana, bukan penentu makna.
Pada akhirnya, poster tetaplah poster, dan mimbar tetaplah amanah. Nilai seorang pelayan tidak ditentukan oleh siapa yang melihat, melainkan oleh Dia yang memanggil—bahkan ketika tidak ada yang memperhatikan.

